Jangan Sepelekan Gas Methane Akibat Pembusukan Sampah
Pencanangan “Gerakan Menanam Sejuta Pohon” oleh Pak SBY telah dilaksanakan di beberapa wilayah di tanah air. Demikian juga Gubernur Jawa Tengah, Pak Bibit Waluyo, dengan semboyannya yaitu “Satu Orang Satu Pohon” telah dikampanyekan di seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Belakangan ini, REDD+ Scheme, yang diusulkan oleh Indonesia di Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) ke 13 di Bali bulan Desember 2007 yang lalu, mulai membuahkan hasil. Untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida di wilayah Indonesia, Norwegia (lewat penandatanganan LoI di Oslo, 29 Mei 2010) telah sepakat akan menyumbang dana sebesar US$ 1,- milyar, dan akan dikucurkan secara bertahap dalam waktu 7-8 tahun ke depan berdasarkan hasil yang dicapai. Dengan dukungan dana tersebut, Indonesia diharapkan dapat mengurangi emisi gas-gas rumah kaca akibat penebangan dan degradasi hutan, serta tanah gambut (peatland).Melalui artikel ini penulis bermaksud mengingatkan bahwa gerakan penghijauan kembali yang telah dicanangkan tersebut akan menjadi sia-sia dalam pelaksanaannya, apabila kita tetap membiarkan sampah-sampah organik berserakan dimana-mana sampai membusuk. Pembusukan tersebut menyebabkan terbentuknya gas methane yang turut mencemari atmosfir bumi.
Mengenal Gas Methane.
Gas methane adalah senyawa kimia dengan formula kimia CH4 . Gas ini merupakan senyawa paling sederhana di antara sederetan gas-gas methane hidrokarbon, dan dapat terbentuk secara alami. Gas, yang tidak berwarna dan tidak beraroma, ini mudah terbakar; dan jika saat membakarnya terdapat oksigen, akan menghasilkan karbon dioksida dan air. Karena pada suhu dan tekanan normal berbentuk gas, gas methane menjadi sukar untuk diangkut dari tempat asalnya. Untuk yang berwujud gas, dapat didistribusikan dalam jumlah besar secara pipanisasi, sedangkan yang berwujud cair dapat diangkut dengan truk tanki LPG.
Methane ditemukan oleh Alessandro Volta antara tahun 1776 dan 1778, ketika sedang mempelajari gas yang terbentuk akibat terendamnya tanaman oleh air secara musiman di Danau Maggiore, di perbatasan antara Swiss dan Italia.
Methane juga mengakibatkan degradasi pada lapisan Ozone. Lapisan ozone yang berlubang akan membuat radiasi cahaya matahari (yang bersifat radioaktif) langsung mengenai permukaan bumi tanpa mengalami filterisasi.
Konsentrasi gas methane di atmosfir bumi pada tahun 1998 masih sebesar 1.745 parts per milyar (ppb), yang berarti meningkat 700 ppb sejak tahun 1750. Akan tetapi gas, yang hingga tahun 2007 levelnya nyaris tidak berubah, telah melonjak di tahun 2008 menjadi sebanyak 1.800 ppb. Menjelang tahun 2010, gas tersebut sempat terukur di kutub utara sebanyak 1850 ppb; suatu jumlah yang oleh para ilmuwan dikatakan jauh di atas level pada 400.000 tahun sebelumnya. Menurut perkiraan, konsentrasi gas methane di atmosfir bumi berkisar 300-400 ppb selama periode glasial (abad es), dan meningkat menjadi antara 600-700 ppb ketika suhu atmosfir mulai menghangat di periode interglasial (abad es mulai mencair).
Gas methane tidak beracun, tetapi sangat mudah terbakar dan mudah meledak bila bercampur udara.
Potensinya Sebagai Bahan Bakar.
Gas methane dapat digunakan sebagai bahan bakar bagi pembangkit listrik berpenggerak turbin gas (PLTG) maupun sebagai pembakar boiler pada pembangkit listrik berpenggerak turbin uap (PLTU). Bila dibandingkan dengan bahan bakar jenis hidrokarbon lainnya, pembakaran yang menggunakan gas methane melepaskan lebih sedikit karbon dioksida dari setiap unit panas yang dilepaskannya.
Kendaraan bermotor (jenis premium) pun dapat menggunakan gas ini sebagai bahan bakarnya. Tentunya dengan sedikit modifikasi pada sistem karburatornya.
Gas methane yang digunakan di sektor industri maupun rumah tangga berwujud gas yang telah dicairkan, dan dikenal dengan sebutan Elpiji, sebuah merk dagang dari liquefied natural gas (LPG) yang beredar di Indonesia. Gas methan yang beredar secara komersial dicampur dengan suatu aroma yang cukup menyengat agar mudah tercium apabila terjadi kebocoran pada tabungnya.
Gas methan juga dapat diproduksi dengan teknologi yang relatif sederhana guna memenuhi kebutuhan energi di desa-desa maupun peternakan-peternakan. Bila potensi biomassa dari desa atau peternakan (d.h.i. kotoran hewan ternak dan sampah organik) cukup besar, gas tersebut dapat dimanfaatkan menjadi gas dapur (pengganti elpiji) dan lampu penerangan rumah di malam hari (pengganti lampu petromax). Konsep ini sangat relevan bagi pedesaan maupun peternakan yang letaknya terisolir secara geografis.
Gas Methane di Atmosfir.
Gas methane terbentuk dekat permukaan bumi, terutama di tanah, sungai atau laut maupun dari sisa makanan dan kotoran hewan. Gas tersebut terbawa ke lapisan stratosfir bersama udara yang bergerak ke atas di daerah-daerah tropis.
Gas methane di atmosfir bumi merupakan salah satu gas rumah kaca dengan potensi menyebabkan pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan dengan gas CO2 untuk periode 100 tahun. Gas methane memiliki efek besar pada periode yang pendek (8,4 tahun di atmosfir), sedangan karbon dioksida hanya memiliki efek kecil dan berlangsung dengan periode lebih dari 100 tahun. Karena adanya perbedaan dalam efek dan periode, potensi pemanasan global dari gas methane untuk periode 20 tahun menjadi 72 kali lebih besar dari pada potensi karbon dioksida.
Gas Methane Yang Terbentuk Dari Pembusukan Sampah.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia — yang pemerintah maupun rakyatnya masih belum sepenuhnya menyadari akan perlunya memproses sampah organik — memiliki potensi yang besar dalam menimbulkan emisi gas methane ke atmosfir lewat pembusukan sampah tersebut.
Jumlah sampah per hari di seluruh Indonesia pada tahun 1995 sebesar 18.000 ton, meningkat menjadi 25.700 ton pada tahun 2000, dan menjadi 40.000 ton pada tahun 2010. Jika setiap ton sampah organik yang membusuk membentuk 50 kilogram gas methane, maka ”produksi” gas methane di tahun 2010 akan sebanyak 2.000 ton per hari. Dalam potensinya menyebabkan pemanasan global, jumlah gas methane di atmosfir Indonesia untuk periode 20 tahun akan setara dengan 144.000 ton gas CO2 per hari; sebuah angka yang sangat besar dan tidak boleh diabaikan. Angka ini akan semakin jauh lebih besar lagi apabila dijumlahkan dengan gas methane yang ditimbulkan oleh puluhan ribu hektar sawah maupun ladang yang membusuk karena tergenang air selama berhari-hari akibat hujan lebat maupun luapan air sungai.
Dari hasil perhitungan tadi, jelaslah bahwa kita tidak boleh meremehkan adanya tumpukan sampah organik yang berserakan di sekitar kita. Pelepasan gas methane per hari dari sampah-sampah di tanah air, yang besarnya setara dengan 144.000 ton gas CO2 , akan membuat kita sia-sia di dalam mengkampanyekan gerakan “Menanam Sejuta Pohon” maupun gerakan “Satu Orang Satu Pohon” .
Marilah kita lakukan “Gerakan Menanam Pohon & Gerakan Mengubur Sampah Organik” secara massal dan simultan. Penulis yakin bahwa laju emisi karbon di atmosfir Indonesia dapat dikurangi secara lebih cepat dan efektif, dari pada kita hanya melakukan gerakan menanam pohon saja.
Sumber : http://atmonobudi.wordpress.com/2011/01/22/jangan-sepelekan-gas-methane-akibat-pembusukan-sampah-di-tempat-terbuka/
0 komentar:
Posting Komentar