Anak Jalanan Mendaur Ulang Sampah Demi Mewujudkan Jakarta Nan Hijau
Negara ini juga sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga Asia lainnya dalam hal pembuangan serta pendaurulangan sampah.
Jakarta, sebagai ibu kota dan kota metropolitan, merupakan rumah bagi 10 juta orang yang menghasilkan 6000 ton sampah setiap harinya.
Jakarta sangat bergantung pada para pemungut sampah, yang kebanyakan anak-anak jalanan, untuk menyelamatkan ibukota sebelum tenggelam dalam sampah.
Sekelompok anak jalanan dari pinggiran ibukota Jakarta sedang bekerja keras demi menghijaukan ibukota.
Morgan Pettersson mengunjungi sebuah sekolah di mana 70 anak jalanan diajarkan bagaimana mendaur ulang sampah dan membuat perubahan.
Inilah suasana sekolah.
Ketika saya masuk ke dalam kompleks tertutup ini, saya melihat anak-anak memisahkan sampah botol dan tempat plastik yang sudah menggunung.
Sebagian tengah sibuk menciptakan berbagai barang dari bahan-bahan yang sudah didaur ulang.
Selamat, 16 tahun, tumbuh besar di jalanan Jakarta, dan sudah bersekolah disini sejak empat tahun lalu.
Ia menunjukkan pada saya, satu gantungan kunci yang sudah ia buat menjadi jepitan rambut dari plastik daur ulang.
“Sangat bangga. Kan pertama kali saya bikin kesel, kesal tapi kalau saya mau berjuang saya bisa dan berarti saya bisa membikin sesuatu yang menarik untuk orang-orang.”
Ini adalah ketrampilan baru yang dipelajari Selamat dan 70 anak jalanan lainnya di Kampus Diakonia Modern (KDM).
Sekolah ini khusus untuk anak jalanan Jakarta. Di sini mereka bisa ikut kelas dasar membaca dan menulis, bahasa Inggris, memasak dan pertukangan kayu.
Sekolah ini gratis dan para pelajar bisa datang dan pergi kapan pun mereka mau.
10 tahun yang lalu, sekolah ini membuat Proyek Jakarta Hijau untuk membantu para pelajar dan lingkungan.
Renie Elvina Tiurma adalah sang direktur proyek.
“Sebenarnya tujuan kami, yang pertama agak muluk, yaitu untuk mengurangi masalah sampah atau limbah di Jakarta, untuk membantu pendidikan anak-anak jalanan. Kami juga sudah menyediakan bantuan untuk anak-anak jalanan bagi mereka yang sudah lulus yang tidak punya ketrampilan apapun. Sebagian sudah punya potensi yang bagus untuk meneruskan pendidikan mereka atau ketrampilan tertentu tapi mereka bisa melakukan sesuatu disini, karena lebih gampang untuk memisahakan dan mengumpulkan sampah.”
Proyek ini dimulai dengan dengan cara mengumpulkan dan memisahkan sampah dari rumah beberapa tetangga sekitar.
Dan 10 tahun kemudian, 300 rumah dan bisnis di Jakarta menjadi pelanggan jasa ini.
Setiap hari, para pelajar mengubah gunungan sampah menjadi uang bagi sekolah ini.
Sebagian sampah ini bisa digunakan dan dibentuk menjadi barang-barang jualan.
Sementara sampah yang tidak bisa digunakan dijual ke perusahaan daur ulang.
Dengan sampah berton-ton yang dihasilkan setiap hari di Jakarta, hampir semuanya berakhir di tempat pembuangan akhir kota.
Sebagian besar rumah tangga Indonesia tidak memisahkah sampah – tapi sebaliknya semua sampah dibuang ke dalam satu tong sampah.
Bahkan, banyak warga Jakarta yang masih membakar sampahnya di pinggir jalan dan pendauran ulang masih belum terpikirkan.
Renie yakin, setiap orang harus bertanggung jawab untuk sampah mereka sendiri.
“Orang-orang selalu bilang semestinya pemerintah yang (turun tangga) tapi menurut saya, setiap orang harus menyadari betapa pentingnya bagi mereka untuk bertanggung jawab kalau mereka menghasilkan sampah, setiap orang membuat sampah tapi kalau ini diatur dengan cara yang baik, ini ini tidak akan membahayakan kehidupan kita di masa mendatang, kalau kita sudah punya tanggung jawab.”
Rennie menuturkan, dengan mengajar anak-anak jalanan cara mendaur ulang, dan membuat barang-barnag darn sampah, maka mereka bakal bisa menyebarkan ketrampilan baru di luar sekolah.
“Ini penting karena lebih berkelanjutan untuk kota dan negari kami karena kami orang Indonesia. Kalau merekta sudah terbiasa, mereka akan mengerti mengapa harus memilah-milah sampah. Mereka bisa agen perubahan, mempengaruhi teman-teman dan tetangganya. Jadi kalau mereka tidak punya tempat yang bagus untuk membuang makanan dan membuang sampah di mana-mana, maka ini akan sangat berbahaya untuk masa depan mereka karena mereka akan tinggal disini di Jakarta. Dan kalau tidak ada yang menyadari hal in, maka nantinya akan lebih buruk lagi.”
Dengan inisitiatif ini diharapkan tingkat pendauran ulang akan terus meningkat.
Yang lebih baik lagi, kata Renie, adalah kehadiran jasa daur ulang untuk seluruh kota.
“Saya pikir ini masih impian tapi akan coba memulai sesuati dan tidak menunggu dan berharap orang lain yang memulainya, karena kita harus mulai dari diri kita sendiri. Menurut saya ini satu impian.”
Sylvie, 19 tahun, menunjukkan pada saya gantungan kunci yang ia buat dari kaleng minuman.
Ia menjual barang-barang itu di Bekasi seharga 5500 rupiah lebih untuk uang sakunya.
Kini ia ahli mendaur ulang. Ia berharap bisa meneruskan gaya hidupnya yang ramah lingkungan dan mendidik banyak orang lain sebelum meninggalkan sekolah ini.
“Ya mau, bahkan saya ingin memberitahu bagi mereka yang belum mengenal, bahwa sampah itu berharga bisa diolah kembali. Saya menyadari kalau dari diri saya sendiri harus Go Green. Jadi merasa saya pergi ke luar saya terbiasa kalau membeli sesuatu, saya bilang jangan pak jangan pak, jangan pakai plastik, jadi saya bisa bawa sendiri atau taro di tas. Karena saya tidak memperbanyak plastik.”
Dan seperti orang-orang bilang, berpikirlah secara global, tapi bertindaklah di tingkat lokal.
Ketika saya masuk ke dalam kompleks tertutup ini, saya melihat anak-anak memisahkan sampah botol dan tempat plastik yang sudah menggunung.
Sebagian tengah sibuk menciptakan berbagai barang dari bahan-bahan yang sudah didaur ulang.
Selamat, 16 tahun, tumbuh besar di jalanan Jakarta, dan sudah bersekolah disini sejak empat tahun lalu.
Ia menunjukkan pada saya, satu gantungan kunci yang sudah ia buat menjadi jepitan rambut dari plastik daur ulang.
“Sangat bangga. Kan pertama kali saya bikin kesel, kesal tapi kalau saya mau berjuang saya bisa dan berarti saya bisa membikin sesuatu yang menarik untuk orang-orang.”
Ini adalah ketrampilan baru yang dipelajari Selamat dan 70 anak jalanan lainnya di Kampus Diakonia Modern (KDM).
Sekolah ini khusus untuk anak jalanan Jakarta. Di sini mereka bisa ikut kelas dasar membaca dan menulis, bahasa Inggris, memasak dan pertukangan kayu.
Sekolah ini gratis dan para pelajar bisa datang dan pergi kapan pun mereka mau.
10 tahun yang lalu, sekolah ini membuat Proyek Jakarta Hijau untuk membantu para pelajar dan lingkungan.
Renie Elvina Tiurma adalah sang direktur proyek.
“Sebenarnya tujuan kami, yang pertama agak muluk, yaitu untuk mengurangi masalah sampah atau limbah di Jakarta, untuk membantu pendidikan anak-anak jalanan. Kami juga sudah menyediakan bantuan untuk anak-anak jalanan bagi mereka yang sudah lulus yang tidak punya ketrampilan apapun. Sebagian sudah punya potensi yang bagus untuk meneruskan pendidikan mereka atau ketrampilan tertentu tapi mereka bisa melakukan sesuatu disini, karena lebih gampang untuk memisahakan dan mengumpulkan sampah.”
Proyek ini dimulai dengan dengan cara mengumpulkan dan memisahkan sampah dari rumah beberapa tetangga sekitar.
Dan 10 tahun kemudian, 300 rumah dan bisnis di Jakarta menjadi pelanggan jasa ini.
Setiap hari, para pelajar mengubah gunungan sampah menjadi uang bagi sekolah ini.
Sebagian sampah ini bisa digunakan dan dibentuk menjadi barang-barang jualan.
Sementara sampah yang tidak bisa digunakan dijual ke perusahaan daur ulang.
Dengan sampah berton-ton yang dihasilkan setiap hari di Jakarta, hampir semuanya berakhir di tempat pembuangan akhir kota.
Sebagian besar rumah tangga Indonesia tidak memisahkah sampah – tapi sebaliknya semua sampah dibuang ke dalam satu tong sampah.
Bahkan, banyak warga Jakarta yang masih membakar sampahnya di pinggir jalan dan pendauran ulang masih belum terpikirkan.
Renie yakin, setiap orang harus bertanggung jawab untuk sampah mereka sendiri.
“Orang-orang selalu bilang semestinya pemerintah yang (turun tangga) tapi menurut saya, setiap orang harus menyadari betapa pentingnya bagi mereka untuk bertanggung jawab kalau mereka menghasilkan sampah, setiap orang membuat sampah tapi kalau ini diatur dengan cara yang baik, ini ini tidak akan membahayakan kehidupan kita di masa mendatang, kalau kita sudah punya tanggung jawab.”
Rennie menuturkan, dengan mengajar anak-anak jalanan cara mendaur ulang, dan membuat barang-barnag darn sampah, maka mereka bakal bisa menyebarkan ketrampilan baru di luar sekolah.
“Ini penting karena lebih berkelanjutan untuk kota dan negari kami karena kami orang Indonesia. Kalau merekta sudah terbiasa, mereka akan mengerti mengapa harus memilah-milah sampah. Mereka bisa agen perubahan, mempengaruhi teman-teman dan tetangganya. Jadi kalau mereka tidak punya tempat yang bagus untuk membuang makanan dan membuang sampah di mana-mana, maka ini akan sangat berbahaya untuk masa depan mereka karena mereka akan tinggal disini di Jakarta. Dan kalau tidak ada yang menyadari hal in, maka nantinya akan lebih buruk lagi.”
Dengan inisitiatif ini diharapkan tingkat pendauran ulang akan terus meningkat.
Yang lebih baik lagi, kata Renie, adalah kehadiran jasa daur ulang untuk seluruh kota.
“Saya pikir ini masih impian tapi akan coba memulai sesuati dan tidak menunggu dan berharap orang lain yang memulainya, karena kita harus mulai dari diri kita sendiri. Menurut saya ini satu impian.”
Sylvie, 19 tahun, menunjukkan pada saya gantungan kunci yang ia buat dari kaleng minuman.
Ia menjual barang-barang itu di Bekasi seharga 5500 rupiah lebih untuk uang sakunya.
Kini ia ahli mendaur ulang. Ia berharap bisa meneruskan gaya hidupnya yang ramah lingkungan dan mendidik banyak orang lain sebelum meninggalkan sekolah ini.
“Ya mau, bahkan saya ingin memberitahu bagi mereka yang belum mengenal, bahwa sampah itu berharga bisa diolah kembali. Saya menyadari kalau dari diri saya sendiri harus Go Green. Jadi merasa saya pergi ke luar saya terbiasa kalau membeli sesuatu, saya bilang jangan pak jangan pak, jangan pakai plastik, jadi saya bisa bawa sendiri atau taro di tas. Karena saya tidak memperbanyak plastik.”
Dan seperti orang-orang bilang, berpikirlah secara global, tapi bertindaklah di tingkat lokal.
0 komentar:
Posting Komentar